Belajar Dari Bangsa Jepang

Tulisan ini terinspirasi setelah tadi pagi saya menyaksikan sebuah program berita interaktif di sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Jepang, sebuah negara modern yang sampai hari ini masih memegang teguh tradisi asli bangsanya. Teringat pada sebuah dialog di akhir film The Last Samurai, ketika Kaisar Jepang dalam film tersebut mengatakan, “Kita boleh menerima modernisasi dari dunia barat, tapi kita tidak boleh lupa darimana kita berasal.” Mungkin alasan ini bisa dijadikan landasan kenapa sampai saat ini orang Jepang masih memegang teguh tradisi mereka.

Salah satu tradisi mereka yang terkenal di dunia adalah Harakiri atau yang lebih dikenal dengan bunuh diri dengan menusukkan pisau/pedang ke perut. Harikiri biasanya dilakukan ketika seseorang gagal menepati apa yang telah ia janjikan sebelumnya dan merasa malu tidak bisa bisa menepati janjinya.

Dalam era modern seperti sekarang ini, Harakiri juga mengalami modernisasi atau penyesuaian, terlebih di dunia politik. Seseorang yang tidak menepati janjinya akan melakukan Harakiri tapi bukan dengan menusukkan pisau ke perutnya, melainkan dengan mengundurkan diri dari jabatan tertentu yang dipegangnya. Dan inilah yang terjadi beberapa hari lalu di Jepang, ketika Perdana Menteri Jepang, Yuki Hatoyama mengundurkan diri dari jabatannya karena tidak bisa menepati janjinya pada saat kampanye, yaitu menutup pangkalan militer Amerika Serikat di selatan Pulau Okinawa. Padahal, Hatoyama baru delapan bulan menjadi perdana menteri.

Pengunduran diri seorang pejabat negara pun ternyata tidak hanya terjadi di Jepang. Di Inggris, pada bulan Mei lalu, seorang pejabat negaranya mengundurkan diri. Mereka adalah David Laws, Menteri Keuangan Inggris yang baru menjabat kurang dari sebulan setelah mengakui penggunaan penerimaan pajak sekitar 10 ribu poundsterling untuk membayar sewa apartemen bagi pasangan hidupnya. Malah, pada 2006, Perdana Menteri Korea Selatan ketika itu, Lee Hae-Chan, berani mengundurkan diri hanya karena dirinya bermain golf pada hari pemogokan pekerja kereta api.

Lalu, apa hubungannya dengan Indonesia pada hari ini? Perlu disadari atau tidak, Indonesia harus belajar dari orang-orang tersebut. Terlebih mereka yang pada hari ini menyandang status sebagai pejabat publik.

Di negeri yang selama satu dekade terakhir ini menggemakan semangat demokrasi, siapa saja berminat untuk menjadi pejabat publik seperti walikota atau gubernur. Berbagai cara dilakukan oleh mereka yang terobsesi menjadi pejabat publik, terlebih mereka yang sudah pernah menjadi pejabat dan ingin kembali menjabat. Dan untuk menggapai obsesi pribadi tersebut, berbagai janji-janji pun dilontarkan pada masa kampanye atau pengenalan diri ke publik.

Ironisnya, ketika seseorang sudah menduduki sebuah jabatan dan bahkan mencalonkan kembali dirinya, ia mengidap amnesia dengan apa yang ia janjikan. Selain itu, banyak yang ketika melakukan kesalahan tidak secara gentle mengakui kesalahannya atau mengklarifikasi kebenaran dari berita kesalahan yang diperbuatnya dan malah asyik membangun image diri dengan berbagai pencitraan positif yang kadang terkesan dipaksakan. Tidak hanya itu, jika seseorang sudah tidak bisa lagi mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah dikarenakan sudah pernah memimpin selama dua periode, maka ia akan mempersiapkan anggota keluarganya (istri atau anak) untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Malah dalam salah satu pilkada di Jawa Timur, dua orang calon bupati yang keduanya adalah istri dari mantan bupati yang akan digantikan melalui pilkada tersebut, tidak mau bersalaman saat menghadiri salah satu acara yang diadakan oleh KPU setempat.

Suatu jabatan atau kedudukan di Indonesia saat ini lebih banyak dipandang sebagai sebuah status dimana dengan status tersebut banyak beranggapan akan mendapat sebuah kedudukan atau kehormatan di mata masyarakat. Fungsi dari jabatan yang menjadi substansi dari jabatan itu sendiri banyak dilupakan atau sengaja dinomorduakan oleh mereka yang memegang suatu jabatan.

Bisa dikatakan, mereka yang menjadi pejabat publik terkadang tidak begitu peduli dengan fungsi sebenarnya sebagai pelayan masyarakat melalui birokrasi yang dipimpinnya. Padahal, berdasarkan hasil survey oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) kepada para eksekutif ekspatriat, birokrasi Indonesia menduduki birokrasi terburuk kedua di Asia setelah India.

Kita seharusnya malu dengan hasil survey tersebut. Secara logika, bagaimana mungkin bangsa yang dulunya membangkitkan semangat bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika untuk merdeka dan turut mendorong berdirinya Gerakan Non-Blok dan sempat dikenal sebagai Macan Asia, pada hari ini terkenal dengan berbagai permasalahan negatif seperti masalah korupsi dan lemahnya birokrasi negeri ini. Kita tidak cukup hanya berbangga dengan sejarah masa lalu. Bukankah malu sebagian dari iman?

Ke depan, kita harus menyadari bahwa jabatan bukan untuk dijadikan status diri agar mendapat kehormatan dan pandangan dari orang lain. Di balik semua itu, ada sebuah tanggung jawab besar dan fungsi kepemimpinan yang harus dilaksanakan. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat. Sudah sepatutnya kita belajar dari bangsa Jepang, dari bangsa manapun atau dari seseorang yang berani meninggalkan kedudukannya karena merasa tidak bisa menepati janji atau tidak menjalankan fungsi kepemimpinan dengan baik. Semoga para pemuda Indonesia yang merupakan pemimpin masa depan bisa menjadi pemimpin yang baik dan selalu merasa malu dengan kesalahan yang diperbuatnya.